Oleh: Andika Nur P.
Tahun ajaran baru merupakan salah satu agenda rutin setiap tahunnya di Indonesia. Instansi pendidikan formal mulai dari kasta paling “rendah” hingga yang sangat ber-“gengsi” semua membuka pintunya bagi siapa saja yang ingin menempuh pendidikan, baik melalui seleksi ketat maupun hanya menyodorkan “rupiah”. Akses untuk mendapatkan ilmu secara bertanggung jawab memang menjadi alasan utama para orang tua agar anaknya mampu menempuh bangku pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Wajar memang pos-pos pendidikan formal tidak menjangkau hingga ke pelosok negeri ini, bahkan kota luar pulau Jawa yang dapat dibilang sebagai kota besar cenderung memiliki standarisasi yang masih rendah.
Pada masa kini pemerintah mencangkan program wajib belajar 9 tahun sebagai aksi pemerintah memberantas rendahnya pendidikan pada anak-anak Indonesia. Tingginya biaya pendidikan pada instansi pendidikan swasta membuat masyarakat cenderung mencari instansi pendidikan negeri yang notabene-nya tetap diasuh oleh pemerintah. Anggapan masyarakat ini pula yang memicu persaingan ketat untuk dapat bersekolah di sekolah negeri, khususnya pada tingkat universitas dimana ratusan ribu lulusan SMA atau sederajat mencoba masuk ke Universitas negeri tersebut dengan seleksi yang ketat untuk beberapa kursi yang telah disediakan.
Ribuan atau bahkan jutaan mahasiswa/i tersebut memiliki peluang yang sama untuk memasuki Universitas negeri, terkecuali bagi orang tua mereka yang memiliki kelebihan materiil ataupun koneksi dapat masuk tanpa melewati satu jenis tes seleksi apapun. Pemerintah, khususnya melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, mengenalkan sistem seleksi secara nasional yang dikenal dengan sebutan SNMPTN (Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri) dengan 2 jalur, yaitu undangan dan tulis. Beberapa Universitas Negeri favorit menjadi incaran para peserta, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan lain-lain. Masih tetap Universitas Negeri di Jawa menjadi tujuan utama para peserta yang berasal dari seluruh Indonesia.
Universitas Brawijaya, sebagai salah satu Universitas Negeri unggulan setiap tahunnya menerima puluhan ribu mahasiswa baru melalui seleksi nasional dan juga seleksi mandiri. Terletak di kota Malang, Jawa Timur, Universitas Brawijaya atau yang biasa disebut UB, pada tahun ajaran 2012/2013 menerima 15.000 lebih mahasiswa baru dari seluruh Indonesia. Ragam entitas yang masuk ke Universitas Brawijaya ini seakan menjadi warna indah tersendiri dibalik rumitnya birokrasi. Pada tahun 2012 ini pula Universitas Brawijaya menambah corak baru pada almamater biru dongkernya dengan dibukanya Pusat Studi Layanan Disabilitas. Lembaga ini didirikan seiring pertama kalinya Universitas Brawijaya menerima mahasiswa difabel atau yang dikenal umum memiliki kekurangan dalam hal mental atau fisik tidak seperti mahasiswa Universitas Brawijaya pada tahun-tahun sebelumnya. Suatu pencapaian yang menurut saya sangat manusiawi karena memang semua warga negara berhak mendapat pendidikan formal secara sama dan merata tanpa membedakan apapun (diluar pembedaan SPP).
Ketika saya menghadiri rangkaian acara ospek fakultas sebagai perwakilan dari Himpunan Mahasiswa Antropologi Budaya, terlihat beberapa mahasiswa/i difabel dengan tanda khusus pada name tag di sekitar almamaternya mengikuti dengan antusias rangkaian acara ospek yang diadakan Fakultas Ilmu Budaya tersebut. Sebanyak total tujuh orang mahasiswa/i difabel diterima pada Fakults Ilmu Budaya pada tahun 2012 ini. Hal tersebut benar-benar telah membukakan mata kita bahwa sistem pendidikan di Indonesia harus memperhitungkan khualitas dari mahasiswa/i nya, bukan sekedar dari apa yang dapat dinilai oleh mata. Saya melihat bahwa mereka memang layak sekali untuk mengeyam bangku kuliah dengan hak dan kewajiban yang sama seperti mahasiswa/i lainnya. Masalah mayoritas dan minoritas ini memang selalu menjadi permasalahan yang begitu sulit dan sering kali menimbulkan pencitraan khusus, kemudian sangat mungkin membangun tembok pemisah dan pada akhirnya menimbulkan konflik fisik maupun psikis pada kelompok-kelompok minoritas tersebut. Bukan tentang normal atau lengkapnya panca indra, tapi bangun negara ini lebih cerdas tanpa membedakan kondisi apapun itu mulai dari sekarang. Hidup mahasiswa Indonesia!
*penulis adalah ketua himpunan Program Studi Antropologi Budaya 2011, Fakultas Ilmu Budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar